Pages

Sabtu, 10 Maret 2012

“Frans Magnis Menolak Pluralisme Agama"

Tokoh Katolik Indonesia yang banyak dikenal, Prof. Dr. Frans Magnis Suseno menolak “Pluralisme Agama”. Jika Katolik saja menolak Pluralisme Agama, apalagi Islam!.

Pada tanggal 2 Februari 2005 lalu saya ke Jakarta dan menemui Prof. Dr. Frans Magnis Suseno, seorang tokoh Katolik terkenal di Indonesia dan Direktur Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Cukup lama kami berdiskusi tentang berbagai hal seputar masalah agama dan khususnya masalah Gereja Katolik dan Konsili Vatikan II. Di akhir pertemuan, Frans Magnis memberi saya sebuah hadiah berupa buku karyanya yang berjudul “Menjadi Saksi Kristus di Tengah Masyarakat Majemuk¨.

Di antara yang menarik untuk kita bahas pada catatan kali ini adalah pembahasan Frans Magnis Suseno tentang pluralisme agama. Secara tegas, dalam bukunya, Frans Magnis menolak paham tersebut. Bagi saya, pendapat Frans Magnis itu menarik, sebab selama ini saya menyangka, dia seorang pendukung pluralisme agama, mengingat ada sejumlah muridnya dari kalangan orang Muslim yang pernah kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan kini rajin menyebarkan paham tersebut.

Berikut ini kita kutipkan pendapat Frans Magnis tentang pluralisme agama. Pluralisme agama, kata Magnis, sebagaimana diperjuangkan di kalangan Kristen oleh teolog-teolog seperti John Hick, Paul F. Knitter (Protestan) dan Raimundo Panikkar (Katolik), adalah paham yang menolak eksklusivisme kebenaran. Bagi mereka, anggapan bahwa hanya agamanya sendiri yang benar merupakan kesombongan. Agama-agama hendaknya pertama-pertama memperlihatkan kerendahan hati, tidak menganggap lebih benar daripada yang lain-lain.

Teologi yang mendasari anggapan itu adalah, kurang lebih, dan dengan rincian berbeda, anggapan bahwa agama-agama merupakan ekspresi religiositas umat manusia. Para pendiri agama, seperti Buddha, Yesus, dan Muhammad merupakan genius-genius religius, mereka menghayati dimensi religius secara mendalam. Mereka, mirip dengan orang yang bisa menemukan air di tanah, berakar dalam sungai keilahian mendalam yang mengalir di bawah permukaan dan dari padanya segala ungkapan religiositas manusia hidup. Posisi ini bisa sekaligus berarti melepaskan adanya Allah personal. Jadi, yang sebenarnya diakui adalah dimensi transenden dan metafisik alam semesta manusia. Namun, bisa juga dengan mempertahankan paham Allah personal.

Masih menurut penjelasan Frans Magnis Suseno, pluralisme agama itu sesuai dengan “semangat zaman¨. Ia merupakan warisan filsafat Pencerahan 300 tahun lalu dan pada hakikatnya kembali ke pandangan Kant tentang agama sebagai lembaga moral, hanya dalam bahasa diperkaya oleh aliran-aliran New Age yang, berlainan dengan Pencerahan, sangat terbuka terhadap segala macam dimensi “metafisik¨, “kosmis¨, “holistik¨, “mistik¨, dsb. Pluralisme sangat sesuai dengan anggapan yang sudah sangat meluas dalam masyarakat sekuler bahwa agama adalah masalah selera, yang termasuk “budaya hati¨ individual, mirip misalnya, dengan dimensi estetik. Dan bukan masalah kebenaran. Mengkliam kebenaran hanya bagi diri sendiri dianggap tidak toleran. Kata “dogma¨ menjadi kata negatif. Masih berpegang pada dogma-dogma dianggap ketinggalan zaman.

Paham ‘Pluralisme Agama’, menurut Frans Magnis, jelas-jelas ditolak oleh Gereja Katolik. Pada tahun 2001, Vatikan menerbitkan penjelasan “Dominus Jesus.” Penjelasan ini, selain menolak paham ‘Pluralisme Agama’, juga menegaskan kembali bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya pengantaran keselamatan Ilahi dan tidak ada orang yang bisa ke Bapa selain melalui Yesus. Di kalangan Katolik sendiri, “Dominus Jesus” menimbulkan reaksi keras. Frans Magnis sendiri mendukung “Dominus Jesus” itu, dan menyatakan, bahwa “Dominus Jesus” itu sudah perlu dan tepat waktu.

Menurutnya pula, ‘Pluralisme Agama’ hanya di permukaan saja kelihatan lebih rendah hati dan toleran dari pada sikap inklusif yang tetap meyakini imannya. Bukan namanya toleransi apabila untuk mau saling menerima dituntut agar masing-masing melepaskan apa yang mereka yakini. Ambil saja sebagai contoh Islam dan kristianitas. Pluralisme mengusulkan agar masing-masing saling menerima karena masing-masing tidak lebih dari ungkapan religiositas manusia, dan kalau begitu, tentu saja mengklaim kepenuhan kebenaran tidak masuk akal. Namun yang nyata-nyata dituntut kaum pluralis adalah agar Islam melepaskan klaimnya bahwa Allah dalam al-Qur’an memberi petunjuk definitif, akhir dan benar tentang bagaimana manusia harus hidup agar ia selamat, dengan sekaligus membatalkan petunjuk-petunjuk sebelumnya.

Dari kaum Kristiani, kaum pluralis menuntut untuk mengesampingkan bahwa Yesus itu “Sang Jalan”, “Sang Kehidupan” dan “Sang Kebenaran”, menjadi salah satu jalan, salah satu sumber kehidupan dan salah satu kebenaran, jadi melepaskan keyakinan lama yang mengatakan bahwa hanya melalui Putera manusia bisa sampai ke Bapa.

Terhadap paham semacam itu, Frans Magnis menegaskan: “Menurut saya ini tidak lucu dan tidak serius. Ini sikap menghina kalau pun bermaksud baik. Toleransi tidak menuntut agar kita semua menjadi sama, bari kita bersedia saling menerima. Toleransi yang sebenarnya berarti menerima orang lain, kelompok lain, keberadaan agama lain, dengan baik, mengakui dan menghormati keberadaan mereka dalam keberlainan mereka! Toleransi justru bukan asimilasi, melainkan hormat penuh identitas masing-masing yang tidak sama.¨

Itulah sikap dan pandangan seorang tokoh Katolik terhadap paham Pluralisme Agama. Jelas, bahwa Vatikan sendiri menolak paham tersebut. Karena itu, kadang-kadang kita heran, bahwa diantara kaum Muslim sendiri ada yang membuat kesan seolah-olah Vatikan V melalui Konsili Vatikan II , V sudah mengubah menjadi pluralis. Padahal tidaklah demikian, sebagaimana ditegaskan oleh Frans Magnis Suseno.

Tentulah kaum Muslim yang meyakini kebenaran aqidahnya juga sangat menolak paham semacam ini. Bagi seorang Muslim, tentu hanya Islam, sebagai satu-satunya institusi agama yang benar. Artinya, jika orang mau selamat di dunia dan akhirat, Islam-lah jalannya. Bukan yang lain. Ini tidak berarti setiap orang yang mengaku atau disebut Muslim pasti selamat, sebab itu sangat tergantung kepada pribadinya. Bisa jadi, dia murtad atau membatalkan imannya sendiri. Yang lucu, tentu adalah manusia-manusia yang tetap mengaku sebagai Muslim tetapi pada saat yang sama juga rajin menyebarkan paham ‘Pluralisme Agama’. Tambah lucunya lagi, orang-orang itu juga menjadi pengurus organisasi Islam.

Paham ‘pluralisme Agama’ atau teologi pluralis itu sebenarnya adalah paham untuk menghilangkan sifat ekslusif ummat Islam. Artinya dengan paham ini ummat Islam diharapkan tidak lagi bersikap fanatik, merasa benar sendiri dan menganggap agama lain salah. Menurut John Hick, tokoh pluralisme agama, diantara prinsip pluralisme agama menyatakan bahwa agama lain adalah sama-sama jalan yang benar menuju kebenaran yang sama (Other religions are equally valid ways to the same Truth).

Di kalangan Kristen juga muncul keganjilan. Penyebaran paham ini diantaranya juga dilakukan kalangan gereja melalui sekolah-sekolah teologi Kristen dan Universitas Kristen. Bahkan ada kelompok-kelompok misionaris Kristen yang juga rajin menyebarkan paham ini, disamping paham sekularisme.

Fenomena semacam itu bisa dilihat sebagai salah satu bentuk perang pemikiran terhadap kaum Muslim, sebab mereka sadar, ‘Pluralisme Agama’ memang paham yang membunuh dasar-dasar agama itu sendiri. Karena itu, sebagai seorang rohaniwan Katolik, wajar jika Frans Magnis Suseno menolak keras-keras paham tersebut. Jika Katolik saja menolak paham tersebut, maka adalah aneh dan ajaib jika ada sebagian di kalangan kaum Muslim yang ikut-ikutan menyebarkan paham ini.

Sekarang, banyak organisasi Islam yang terjebak atau menjebakkan diri turut menyebarkan paham ini. Apalagi, ada LSM Asing yang rajin membiayai program-program penyebaran ‘Pluralisme Agama’, seperti The The Asia Foundation (TAF).

Dalam websitenya, TAF menyebutkan, bahwa karena menyadari akan pentingnya nilai-nilai inklusif dan pluralis dalam masyarakat Muslim Indonesia yang mayoritas, maka TAF telah memberikan bantuan kepada berbagai ormas Islam sejak tahun 1970-an. Dalam konteks masyarakat Islam Indonesia yang semakin beragam, TAF kini membantu lebih dari 30 kelompok LSM dalam upaya mereka mempromosikan konsep bahwa nilai-nilai Islam itu dapat menjadi asas bagi sistim politik demokratis, anti-kekerasan dan toleransi beragama. Dalam kaitannya dengan pendidikan sipil, HAM, penyatuan antar komunitas, persamaan gender, dialog antar agama, T AF bekerjasama dengan LSM-LSM yang ormas-ormas dalam usaha mereka menjadikan Islam sebagai media untuk demokratisasi di Indonesia.

Program-programnya termasuk training tokoh-tokoh agama, kajian tentang isu gender dan hak asasi manusia dalam Islam, pelajaran tentang pendidikan sipil pada lembaga-lembaga pendidikan Islam, pusat pembelaan terhadap wanita Muslim dan memperkuat media Islam yang pluralis dan toleran. (http://www.asiafoundation.org/Locations/indonesia.html)

Jadi, dengan berselubung pada isu demokrasi, toleransi, dan sebagainya, paham ‘Pluralisme Agama’ ini terus disebarkan di kalangan Muslim. Karena Muslim ada mayoritas di Indonesia, maka dampak besar dari penyebaran paham ini akan menimpa kaum Muslim. Karena itu, kita sungguh sedih dan prihatin terhadap orang-orang dari kalangan Muslim yang rajin menyebarkan paham ini. Apa pun motifnya. Paham ‘Pluralisme Agama’ inilah yang dijadikan sebagai salah satu dasar pembuatan Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam, yang salah satu isinya adalah membolehkan wanita Muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim. Tentu saja, mereka berpikir, bahwa agama apa saja adalah sama dan satu agama tidak boleh mengklaim sebagai yang “benar sendiri¨. Paham ini juga berdampak pada munculnya pendapat bahwa tidak boleh kaum Muslim mengklaim hanya al-Quran saja satu-satunya ‘Kitab Suci’ saat ini. Seorang tokoh penyebar paham ini pernah menulis di media massa, bahwa “all scriptures are miracles¨(Semua Kitab agama-agama adalah mukjizat).

Sebagai Muslim kita memiliki keyakinan yang berbeda dengan Frans Magnis Suseno. Kita bisa menunjukkan banyak ayat al-Quran yang memberikan kritik keras terhadap keyakinan kaum Kristen terhadap Yesus. Sejak awal mula, Rasulullah saw sudah menunjukkan sikap kritis semacam itu. Namun, pada saat yang sama, Islam juga mengakui eksistensi kaum Kristen, dan tidak diperbolehkan menganiaya mereka karena perbedaan agama. Mereka, bahkan disebut kafir ‘Ahlul Kitab’, dan begitu banyak ajaran Islam yang berkaitan dengan mereka.

Disamping perbedaan yang mendasar, tentu ada beberapa persamaan sikap antara Muslim dengan Katolik, seperti dalam hal ‘Pluralisme Agama’, sikap terhadap homoseksual, dan sebagainya. Namun, adanya berbagai persamaan antar agama-agama, tidak perlu menjadikan semua agama itu menjadi satu atau membuat agama baru yang bernama ‘Pluralisme Agama¨. Dan sebagai Muslim yang meyakini kebenaran eksklusif aqidah Islam, kita bisa menjadikan pendapat Frans Magnis tentang ‘Pluralisme Agama’ ini sebagai hikmah: “Jika Katolik saja menolak Pluralisme Agama, apalagi Islam.” Wallahu a’lam. (KL, 24 Februari 2005/Hidayatullah.com).


0 komentar:

Posting Komentar