Tokoh Katolik Indonesia yang banyak dikenal, Prof. Dr. Frans Magnis
Suseno menolak “Pluralisme Agama”. Jika Katolik saja menolak Pluralisme Agama,
apalagi Islam!.
Pada tanggal 2 Februari 2005 lalu saya ke Jakarta dan
menemui Prof. Dr. Frans Magnis Suseno, seorang tokoh Katolik terkenal di
Indonesia dan Direktur Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Cukup
lama kami berdiskusi tentang berbagai hal seputar masalah agama dan khususnya
masalah Gereja Katolik dan Konsili Vatikan II. Di akhir pertemuan, Frans Magnis
memberi saya sebuah hadiah berupa buku karyanya yang berjudul “Menjadi Saksi
Kristus di Tengah Masyarakat Majemuk¨.
Di antara yang menarik untuk kita
bahas pada catatan kali ini adalah pembahasan Frans Magnis Suseno tentang
pluralisme agama. Secara tegas, dalam bukunya, Frans Magnis menolak paham
tersebut. Bagi saya, pendapat Frans Magnis itu menarik, sebab selama ini saya
menyangka, dia seorang pendukung pluralisme agama, mengingat ada sejumlah
muridnya dari kalangan orang Muslim yang pernah kuliah di Sekolah Tinggi
Filsafat Driyarkara dan kini rajin menyebarkan paham tersebut.
Berikut
ini kita kutipkan pendapat Frans Magnis tentang pluralisme agama. Pluralisme
agama, kata Magnis, sebagaimana diperjuangkan di kalangan Kristen oleh
teolog-teolog seperti John Hick, Paul F. Knitter (Protestan) dan Raimundo
Panikkar (Katolik), adalah paham yang menolak eksklusivisme kebenaran. Bagi
mereka, anggapan bahwa hanya agamanya sendiri yang benar merupakan kesombongan.
Agama-agama hendaknya pertama-pertama memperlihatkan kerendahan hati, tidak
menganggap lebih benar daripada yang lain-lain.
Teologi yang mendasari
anggapan itu adalah, kurang lebih, dan dengan rincian berbeda, anggapan bahwa
agama-agama merupakan ekspresi religiositas umat manusia. Para pendiri agama,
seperti Buddha, Yesus, dan Muhammad merupakan genius-genius religius, mereka
menghayati dimensi religius secara mendalam. Mereka, mirip dengan orang yang
bisa menemukan air di tanah, berakar dalam sungai keilahian mendalam yang
mengalir di bawah permukaan dan dari padanya segala ungkapan religiositas
manusia hidup. Posisi ini bisa sekaligus berarti melepaskan adanya Allah
personal. Jadi, yang sebenarnya diakui adalah dimensi transenden dan metafisik
alam semesta manusia. Namun, bisa juga dengan mempertahankan paham Allah
personal.
Masih menurut penjelasan Frans Magnis Suseno, pluralisme agama
itu sesuai dengan “semangat zaman¨. Ia merupakan warisan filsafat Pencerahan 300
tahun lalu dan pada hakikatnya kembali ke pandangan Kant tentang agama sebagai
lembaga moral, hanya dalam bahasa diperkaya oleh aliran-aliran New Age yang,
berlainan dengan Pencerahan, sangat terbuka terhadap segala macam dimensi
“metafisik¨, “kosmis¨, “holistik¨, “mistik¨, dsb. Pluralisme sangat sesuai
dengan anggapan yang sudah sangat meluas dalam masyarakat sekuler bahwa agama
adalah masalah selera, yang termasuk “budaya hati¨ individual, mirip misalnya,
dengan dimensi estetik. Dan bukan masalah kebenaran. Mengkliam kebenaran hanya
bagi diri sendiri dianggap tidak toleran. Kata “dogma¨ menjadi kata negatif.
Masih berpegang pada dogma-dogma dianggap ketinggalan zaman.
Paham
‘Pluralisme Agama’, menurut Frans Magnis, jelas-jelas ditolak oleh Gereja
Katolik. Pada tahun 2001, Vatikan menerbitkan penjelasan “Dominus Jesus.”
Penjelasan ini, selain menolak paham ‘Pluralisme Agama’, juga menegaskan kembali
bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya pengantaran keselamatan Ilahi dan tidak
ada orang yang bisa ke Bapa selain melalui Yesus. Di kalangan Katolik sendiri,
“Dominus Jesus” menimbulkan reaksi keras. Frans Magnis sendiri mendukung
“Dominus Jesus” itu, dan menyatakan, bahwa “Dominus Jesus” itu sudah perlu dan
tepat waktu.
Menurutnya pula, ‘Pluralisme Agama’ hanya di permukaan saja
kelihatan lebih rendah hati dan toleran dari pada sikap inklusif yang tetap
meyakini imannya. Bukan namanya toleransi apabila untuk mau saling menerima
dituntut agar masing-masing melepaskan apa yang mereka yakini. Ambil saja
sebagai contoh Islam dan kristianitas. Pluralisme mengusulkan agar masing-masing
saling menerima karena masing-masing tidak lebih dari ungkapan religiositas
manusia, dan kalau begitu, tentu saja mengklaim kepenuhan kebenaran tidak masuk
akal. Namun yang nyata-nyata dituntut kaum pluralis adalah agar Islam melepaskan
klaimnya bahwa Allah dalam al-Qur’an memberi petunjuk definitif, akhir dan benar
tentang bagaimana manusia harus hidup agar ia selamat, dengan sekaligus
membatalkan petunjuk-petunjuk sebelumnya.
Dari kaum Kristiani, kaum
pluralis menuntut untuk mengesampingkan bahwa Yesus itu “Sang Jalan”, “Sang
Kehidupan” dan “Sang Kebenaran”, menjadi salah satu jalan, salah satu sumber
kehidupan dan salah satu kebenaran, jadi melepaskan keyakinan lama yang
mengatakan bahwa hanya melalui Putera manusia bisa sampai ke Bapa.
Terhadap paham semacam itu, Frans Magnis menegaskan: “Menurut saya ini
tidak lucu dan tidak serius. Ini sikap menghina kalau pun bermaksud baik.
Toleransi tidak menuntut agar kita semua menjadi sama, bari kita bersedia saling
menerima. Toleransi yang sebenarnya berarti menerima orang lain, kelompok lain,
keberadaan agama lain, dengan baik, mengakui dan menghormati keberadaan mereka
dalam keberlainan mereka! Toleransi justru bukan asimilasi, melainkan hormat
penuh identitas masing-masing yang tidak sama.¨
Itulah sikap dan
pandangan seorang tokoh Katolik terhadap paham Pluralisme Agama. Jelas, bahwa
Vatikan sendiri menolak paham tersebut. Karena itu, kadang-kadang kita heran,
bahwa diantara kaum Muslim sendiri ada yang membuat kesan seolah-olah Vatikan V
melalui Konsili Vatikan II , V sudah mengubah menjadi pluralis. Padahal tidaklah
demikian, sebagaimana ditegaskan oleh Frans Magnis Suseno.
Tentulah kaum
Muslim yang meyakini kebenaran aqidahnya juga sangat menolak paham semacam ini.
Bagi seorang Muslim, tentu hanya Islam, sebagai satu-satunya institusi agama
yang benar. Artinya, jika orang mau selamat di dunia dan akhirat, Islam-lah
jalannya. Bukan yang lain. Ini tidak berarti setiap orang yang mengaku atau
disebut Muslim pasti selamat, sebab itu sangat tergantung kepada pribadinya.
Bisa jadi, dia murtad atau membatalkan imannya sendiri. Yang lucu, tentu adalah
manusia-manusia yang tetap mengaku sebagai Muslim tetapi pada saat yang sama
juga rajin menyebarkan paham ‘Pluralisme Agama’. Tambah lucunya lagi,
orang-orang itu juga menjadi pengurus organisasi Islam.
Paham
‘pluralisme Agama’ atau teologi pluralis itu sebenarnya adalah paham untuk
menghilangkan sifat ekslusif ummat Islam. Artinya dengan paham ini ummat Islam
diharapkan tidak lagi bersikap fanatik, merasa benar sendiri dan menganggap
agama lain salah. Menurut John Hick, tokoh pluralisme agama, diantara prinsip
pluralisme agama menyatakan bahwa agama lain adalah sama-sama jalan yang benar
menuju kebenaran yang sama (Other religions are equally valid ways to the same
Truth).
Di kalangan Kristen juga muncul keganjilan. Penyebaran paham ini
diantaranya juga dilakukan kalangan gereja melalui sekolah-sekolah teologi
Kristen dan Universitas Kristen. Bahkan ada kelompok-kelompok misionaris Kristen
yang juga rajin menyebarkan paham ini, disamping paham sekularisme.
Fenomena semacam itu bisa dilihat sebagai salah satu bentuk perang
pemikiran terhadap kaum Muslim, sebab mereka sadar, ‘Pluralisme Agama’ memang
paham yang membunuh dasar-dasar agama itu sendiri. Karena itu, sebagai seorang
rohaniwan Katolik, wajar jika Frans Magnis Suseno menolak keras-keras paham
tersebut. Jika Katolik saja menolak paham tersebut, maka adalah aneh dan ajaib
jika ada sebagian di kalangan kaum Muslim yang ikut-ikutan menyebarkan paham
ini.
Sekarang, banyak organisasi Islam yang terjebak atau menjebakkan
diri turut menyebarkan paham ini. Apalagi, ada LSM Asing yang rajin membiayai
program-program penyebaran ‘Pluralisme Agama’, seperti The The Asia Foundation
(TAF).
Dalam websitenya, TAF menyebutkan, bahwa karena menyadari akan
pentingnya nilai-nilai inklusif dan pluralis dalam masyarakat Muslim Indonesia
yang mayoritas, maka TAF telah memberikan bantuan kepada berbagai ormas Islam
sejak tahun 1970-an. Dalam konteks masyarakat Islam Indonesia yang semakin
beragam, TAF kini membantu lebih dari 30 kelompok LSM dalam upaya mereka
mempromosikan konsep bahwa nilai-nilai Islam itu dapat menjadi asas bagi sistim
politik demokratis, anti-kekerasan dan toleransi beragama. Dalam kaitannya
dengan pendidikan sipil, HAM, penyatuan antar komunitas, persamaan gender,
dialog antar agama, T AF bekerjasama dengan LSM-LSM yang ormas-ormas dalam usaha
mereka menjadikan Islam sebagai media untuk demokratisasi di Indonesia.
Program-programnya termasuk training tokoh-tokoh agama, kajian tentang
isu gender dan hak asasi manusia dalam Islam, pelajaran tentang pendidikan sipil
pada lembaga-lembaga pendidikan Islam, pusat pembelaan terhadap wanita Muslim
dan memperkuat media Islam yang pluralis dan toleran.
(http://www.asiafoundation.org/Locations/indonesia.html)
Jadi, dengan
berselubung pada isu demokrasi, toleransi, dan sebagainya, paham ‘Pluralisme
Agama’ ini terus disebarkan di kalangan Muslim. Karena Muslim ada mayoritas di
Indonesia, maka dampak besar dari penyebaran paham ini akan menimpa kaum Muslim.
Karena itu, kita sungguh sedih dan prihatin terhadap orang-orang dari kalangan
Muslim yang rajin menyebarkan paham ini. Apa pun motifnya. Paham ‘Pluralisme
Agama’ inilah yang dijadikan sebagai salah satu dasar pembuatan Counter Legal
Draft Kompilasi Hukum Islam, yang salah satu isinya adalah membolehkan wanita
Muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim. Tentu saja, mereka berpikir, bahwa
agama apa saja adalah sama dan satu agama tidak boleh mengklaim sebagai yang
“benar sendiri¨. Paham ini juga berdampak pada munculnya pendapat bahwa tidak
boleh kaum Muslim mengklaim hanya al-Quran saja satu-satunya ‘Kitab Suci’ saat
ini. Seorang tokoh penyebar paham ini pernah menulis di media massa, bahwa “all
scriptures are miracles¨(Semua Kitab agama-agama adalah mukjizat).
Sebagai Muslim kita memiliki keyakinan yang berbeda dengan Frans Magnis
Suseno. Kita bisa menunjukkan banyak ayat al-Quran yang memberikan kritik keras
terhadap keyakinan kaum Kristen terhadap Yesus. Sejak awal mula, Rasulullah saw
sudah menunjukkan sikap kritis semacam itu. Namun, pada saat yang sama, Islam
juga mengakui eksistensi kaum Kristen, dan tidak diperbolehkan menganiaya mereka
karena perbedaan agama. Mereka, bahkan disebut kafir ‘Ahlul Kitab’, dan begitu
banyak ajaran Islam yang berkaitan dengan mereka.
Disamping perbedaan
yang mendasar, tentu ada beberapa persamaan sikap antara Muslim dengan Katolik,
seperti dalam hal ‘Pluralisme Agama’, sikap terhadap homoseksual, dan
sebagainya. Namun, adanya berbagai persamaan antar agama-agama, tidak perlu
menjadikan semua agama itu menjadi satu atau membuat agama baru yang bernama
‘Pluralisme Agama¨. Dan sebagai Muslim yang meyakini kebenaran eksklusif aqidah
Islam, kita bisa menjadikan pendapat Frans Magnis tentang ‘Pluralisme Agama’ ini
sebagai hikmah: “Jika Katolik saja menolak Pluralisme Agama, apalagi Islam.”
Wallahu a’lam. (KL, 24 Februari 2005/Hidayatullah.com).
Sabtu, 10 Maret 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar