Pages

Jumat, 16 Maret 2012

Negara Megalomania

“bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk dalam kubur (AT-TAKATSUR 1-2)
Beberapa hari terakhir kita di suguhkan pemberitaan terkait institusi Negara yang berlomba-lomba menguras dana rakyat untuk menyediakan fasilitas dan keperluan lain di lingkup legislative, eksekutif atau yudikatif. Entah penyakit apa yang menghinggapi ketiga institusi Negara itu hingga dana puluhan milyar mengalir untuk hal-hal yang seharusnya bisa ditekan atau bahkan dipangkas habis. Sebagian mencoba melakukan pembenaran namun sebagian lain coba untuk menghindar.
Ketidakmasukaakalan nominal yang ada seakan menafikan adanya permainan yang terbungkus dengan rapi hingga pihak-pihak yang berkaitan saling lempar tanggungjawab. Semua menjadi bungkam seolah mereka adalah korban dan tak ada yang menjadi tersangka. Proyek-proyek siluman menjadikan tanda tanya besar bagi rakyat, untuk apa semahal itu ? dan untuk siapa sisa nominal yang diluar nalar tersebut ?
Pernahkah mereka berfikir bahwa uang sebanyak itu akan dapat mengalirkan maslahat bagi rakyat yang membutuhkan. Sama sekali tidak ada urgensi untuk membangun gedung baru, renovasi ruangan serta derivasinya hingga peneluaran-pengeluaran yang tidak ada kaitannya dengan kinerja para pengambil kebijakan di negri ini.
Karena sudah jelas bahwa faham kapitalisme adalah akar dan sumber yang nyata bagi manusia untuk berbuat di luar batas kodrat atau kemampuannya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak para penguasa yang terjebak dalam keadaan ini, lihatlah soekarno yang mengangkat dirinya menjadi presiden seumur hidup atau soeharto yang berkuaa selama 32 tahun dengan segala wewenangnya untuk mengarahkan atau mengatur republic ini sedemikian rupa. Atau sekelas fir’aun yang pada awalnya mempersepsikan dirinya mirip tuhan dan akhirnya terjebak dengan deklarasi yang menyatakan bahwa “aku adalah tuhan kalian”
Tak bisa di pungkiri juga di era otonomi daerah ini muncul raja raja kecil yang mulai menunjukan “kekuasaannya” yang terbukti mereka mampu mengarahkan milyaran APBD baik provinsi maupun kota/kabupaten kekantong-kantong tak bertuan yang tentunya menambah pundi-pundi kekayaan segelintir oknum pejabat daerah. Banyak juga yang berlomba-lomba untuk mempercantik gedung kantor baik kepala daerah, DPRD atau dinas terkait di masing-masing wilayah. Belum lagi pembangunan-pembangunan yang tak ada korelasinya dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Itulah pembangun formalitas yang tak jelas orientasinya, hanya sekedar menghabiskan anggaran .
Sesugguhnya akar permasalahan ini berkaitan dengan harta (kekayaan), tahta(kekuasaan) dan wanita (syahwat). Sering kita temui pejabat di daerah mengunjungi konsituennya dengan memberikan uang atau menjanjikan pembangunan di daerah tersebut dengan tujuan agar ia di akui sebagai pemimpin atau lebih tepatnya penguasa. Ketika kemuliaan dan kehormatan sang pemimpin ditukar dengan segepok uang, sekantong sembako atau iming-iming lain yang bersifat materi. Bahkan tak jarang karena haus kekuasaan banyak yang bertahan di singgasana atau dengan percaya diri mencalonkan diri kembali seolah muncul sebagai pembaharu tetapi dengan isi yang sama.
Terlalu luas ruang yang bisa menghipnotis siapa saja yang berada dalam lingkaran system seperti sekarang ini. Di mana bisikan setan lebih kencang dari lantunan ayat-ayat Qur’an. Saat visi pembangunan membaur dengan kepentingan korporat, segelintir pejabat memulai mencari celah agar terlihat berwibawa, terhormat atau bahkan pantas di sebut ustad. Gelimang dunia yang fana hanyalah fatamorgana. Nama besar dan banyak pengikut bukanlah jaminan setiap orang untuk dapat menjadi teladan atau panutan. Lebih dari itu banyak yang menggunakan harta sebagai tameng dari jeratan hukum atau bermewah dalam setiap kesempatan agar sekedar di bilang “wah” namun tak berisi hingga bisa lepas kendali.
Saatnya kita menjadi garda terdepan dalam mengingatkan mereka yag ada “diatas” sana, bukan lagi meminta untuk mengeluarkan dalih dan alasan yang selalu sama. Tetapi mencoba merenungi ketika kecintaan terhadap dunia(wahn) seperti yang pernah dikatakan rosul adalah benar adanya dan berakibat takut kehilangan “atribut”, takut kehilangan hartanya, takut kehilangan jabatan dan posisi bahkan takut kehilangan nyawa(mati).
Mungkin saja sebagian beranggapan ini adalah nikmat dari tuhan yang harus dihambur-hamburkan namun sebagian berpendapat bahwa ini adalah ujian kehidupan yang harus dituntaskan. Karena setiap titipan akan dipertanggungjawabkan
“ dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenagan hidup di dunia, dan di sisi ALLAHlah tempat kembali yang baik”

Republik Sengkarut dan Bom Informasi Penyudutan Islam

Kepedihan kembali menimpa bangsa ini. Rentetan peristiwa yang terjadi di Indonesia membuat hati kita semakin masgyul: Kesenjangan sosial yang melebar, mandulnya penegakan hukum, tingginya angka kriminalitas, sampai siaran televisi yang acap menyudutkan Islam.
Ini diiringi dengan musibah jatuhnya puluhan korban dalam rentetan kecelakaan. Pelaku korupsi yang masih bebas menggerogoti uang rakyat dan tidak adanya langkah kongkrit dari pemimpin negara. Hampir-hampir rakyat putus asa menjalani beban hidup di rezim saat ini. Sengkarut Republik ini juga dihantam badai korupsi yang menggila.
Mari simak: Dalam rentang delapan tahun, hutang negeri ini meningkat tajam. Tahun 2004 hutang Indonesia tercatat Rp 1.299,5 triliun. Tahun 2011 naik menjadi Rp 1.803,5 triliun, tahun 2012 diprediksi tembus di level RP 1.900 triliun! Logikanya, jika hutang kian besar seharusnya rakyat menjadi makmur. Tapi, apa yang terjadi?
Data yang dilansir Indonesia Corruption Watch, 05 Februari 2012, menyebut sepanjang tahun 2011 terjadi 436 kasus korupsi dengan jumlah tersangka 1.053 orang. Kebanyakan pelaku korupsi memiliki latar belakang PNS. Ironis!
Ironisnya lagi, besarnya hutang justru diimbangi naiknya angka kemiskinan di Tanah Air. Pemerintah memang mengklaim kemiskinan turun satu juta jiwa per Maret 2011. Faktanya, saat ini begitu mudah kita menemui si miskin. Bahkan, dalam tiga tahun terakhir Asian Development Bank (ADB) mencatat orang miskin di Indonesia bertambah 2,7 juta orang. Data ini dirilis 2011.
Menurut data itu, tahun 2008 angka kemiskinan di Indonesia mencapai 40,4 juta jiwa. Tahun 2010 melonjak 43,1 juta jiwa. Artinya, orang miskin di negeri ini jauh lebih banyak dibanding data yang diklaim pemerintah. Apalagi jika dihitung jumlah si miskin yang tidak terdata secara resmi.
Tak heran bila tahun 2010 Indonesia menjadi negara terkorup di Asia. Menurut ICW, semester I tahun 2010 korupsi meningkat 50 % dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Masih menurut data itu, korupsi kakap yang nilainya triliunan rupiah mandeg di kepolisian.
Di tengah hutang negara menumpuk, tingginya kemiskinan, penanganan korupsi yang buram; negeri ini juga dilanda krisis keadilan. Penegakan hukum kental nuansa tebang pilih. Apalagi Mahkamah Agung belum lama ini memvonis bersalah Nenek Rasminah.
Wanita renta itu dituding mencuri enam piring milik majikannya. Rasminah divonis empat bulan 10 hari. Padahal, sebelumnya Pengadilan Negeri Tangerang memvonis bebas. Simak juga kasus Nenek Minah. Tahun 2009 ia divonis satu bulan 15 hari lantaran mencuri tiga buah kakao yang hanya senilai Rp2.100.
Lalu, pencurian sandal yang dituduhkan pada seorang pelajar. Ia divonis bersalah meski dikembalikan ke orangtuanya. Kasus-kasus ini menggegerkan publik, termasuk ketidakadilan lain yang menimpa masyarakat kelas bawah.
Jauh berbeda dengan kasus Century, Lapindo, Rekening Gendut Polisi, dan kasus kakap lainnya; yang sampai saat ini belum ditindaklanjuti secara serius. Penegakan hukum juga kental membela para “teroris koruptor” yang divonis ringan, lalu mendapat remisi dan bebas. Ada pula yang langsung divonis tidak bersalah atau justru belum tersentuh hukum.
Begitu pula dengan kasus yang mendera pejabat partai penguasa. Angelina Sondakh, Wakil Sekjen Partai Demokrat yang sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara wisma atlet, tapi tak sampai dua pekan dari penetapannya itu, ia malah ingin dirotasi di Komisi III (Hukum) yang bersentuhan langsung dengan KPK. Lalu, ada rencana dipindah lagi ke Komisi VIII (Agama). Sungguh, hal ini telah melecehkan akal sehat dan hati rakyat.
Di antara sekngkarut kondisi bangsa, pemerintah justru menghambur uang rakyat. Sebut saja, biaya renovasi istana yang menelan Rp 22,5 miliar. Bahkan dana pembangunan, pengembangan, renovasi serta bangunan dan barang milik negara di lingkungan Sekretariat Presiden dan Kemensetneg pada tahun anggaran 2012 mencapai 72, 852 miliar. Pemerintah juga membeli pesawat kepresidenan jenis Boeing Business Jet seharga Rp526 miliar.
Ironinya, DPR yang seharusnya mengawasi pemerintah seolah tak mau kalah. DPR ikut melakukan pemborosan yang sulit dinalar logika. Misalnya, renovasi toilet sebesar Rp 2 miliar, pembelian mesin fotocopy seharga Rp 4 miliar, pembelian Toyota Camry seharga Rp 470 juta, pembangunan lapangan futsal di rumah Jabatan DPR Kalibata Rp 2 miliar, pembangunan ruang Banggar DPR sebesar Rp 20 miliar; meski furniture impor diganti dengan lokal.
Ditambah masih mengeluhkan urusan snack yang disediakan dalam rapat sidang DPR; padahal bukankah urusan negeri masih setumpuk? Mereka juga membiarkan anggotanya yang terganjal hukum tetap aktif bekerja.
Di lain pihak, anggaran DKI Rp 36 triliun setahun, tidak banyak merubah kondisi curat marut kemacetan dan perbaikan Ibu Kota. Uang-uang rakyat yang diperas dari hasil keringat masyarakat, hasilnya tak banyak dinikmati rakyat. Miris.
Berselancar Di Atas Kejahatan Informasi
Masih banyak lagi rentetan fakta menyayat hati. Semua kepedihan ini masih dihujam dengan siaran televisi yang tidak mendidik. Tetap menyiarkan sinetron, menggunjing melalui tayangan gosip, mengajak hidup konsumtif, dibuai untuk mencapai kesuksesan dengan instan melalui reality show, dan lainnya.
Apalagi, siaran-siaran dewasa yang dominan di TV turut disaksikan anak usia sekolah. Ini meracuni. Masyarakat Indonesia seolah diajak berselancar di atas kejahatan informasi. Dipaksa menelan informasi demi informasi yang jauh dari nilai edukasi. Patut kah negara berpenduduk mayoritas Islam melegalkan siaran itu? Kapitalisme mengoyak hati umat.
Dalam sebuah wawancara dengan Sutradara senior Chaerul Umam, ia mengungkapkan; “Film dan sinetron lebih memprioritaskan keuntungan finansial dibanding bertanggung jawab terhadap moral bangsa.” Apakah ini tak jahat? Apakah umat tidak disakiti?
Perasaan umat kian disakiti dengan informasi media massa yang kembali menyudutkan Islam dalam konteks tragedi FPI: Bagaimana mungkin anggota FPI yang didzalimi di Kalteng, diancam dibunuh, pesawat yang ditumpangi diancam dibakar, tapi justru FPI diminta bubar?
Bagaimana mungkin, media massa yang menjunjung tinggi nilai proposionalitas dalam pemberitaan tapi sangat tendensius dalam pengkonstruksian berita ihwal FPI? Bagaimana mungkin, kelompok yang menjual-jual nama Dayak dengan menerobos apron bandara sambil mengacung-acungi senjata tajam tidak diproses secara hukum?
Padahal, bisa jadi, ini satu-satunya fenomena di dunia dimana bandara bisa diterobos massa. Bukankah ini bisa membuat citra buruk Indonesia? Bukankah aksi itu bisa mengancam dicabutnya sertifikasi penerbangan? Kenapa media massa tidak menyorotnya?
Apalagi kelompok penyerang itu juga membakar tenda Maulid, merusak rumah tokoh Islam di Kalteng. Apa ini yang disebut kearifan lokal? Apakah aksi itu bukan tindak kekerasan? Dimana keadilan?
Ketika Logika Sudah Terjungkal
SBY dalam peringatan Maulid mengajak bangsa ini untuk meneladani sikap Rasulullah. Seorang pemimpin mengajak kebaikan pada rakyatnya tapi tindakannya jauh dari apa yang dianjurkan. Alih-alih mengikuti sikap Rasul, mensejahterakan rakyat dan membela Islam yang mayoritas; ia sendiri masih kerepotan mengurus partainya.
Jika memimpin partai tak sanggup, bagaimana memimpin ratusan juta rakyat. Jika mengajak meneladani Rasul, mengapa kaum Liberal yang jelas menodai Islam masih dipelihara, kenapa pula korupsi tetap menggurita. Di lain pihak, FPI yang mencoba menyelamatkan generasi bangsa dari perusak moral diminta instrospeksi diri.
Katakanlah FPI memang merusak kaca dan bangunan, tapi JIL merusak akidah dan moral melalui kebebasan yang diusungnya. Sedangkan koruptor merusak peradaban. Lebih bahaya mana? Lantas, kenapa pula siaran yang membodohi masyarakat melalui sinetron dkk tidak diberhentikan? Entah bagaimana logika berpikir penguasa.
Pada saat besamaan, media tetap menyoroti kekurangan FPI dan tak pernah mempublish kegiatan positif FPI. Ketimpangan informasi berita FPI juga tidak dibarengi porsi pemberitaan kekerasan yang dilakukan kelompok di luar FPI; gerakan sparatis, perusuh di Ambon, misalnya.
Toh, yang dilakukan FPI dipicu karena tidak adanya langkah nyata dari pemerintah untuk memberangus kemaksiatan. Berbeda dengan motif dan tujuan sparatis atau perusuh Ambon. Parahnya, kini umat Muslim diberi label baru: Pihak yang mendukung FPI = pecinta kekerasan. Betapa tersayatnya hati umat. Padahal sikap tegas beda dengan kekerasan.
Sulit menggambarkan kesedihan tentang sengkarut Republik ini, juga tentang apa yang menimpa umat Muslimnya dari waktu ke waktu, termasuk kesedihan karena seringnya ketidak sesuaian penguasa antara ucapan dan sikapnya. Masih ingat retorika pemberantasan korupsi?
Empat Langkah Penyelamatan Umat
Sebagai penutup, umat perlu melakukan tindakan nyata. Mungkin, umat Muslim bisa melakukan empat langkah antisipasi untuk membendung bom informasi penyudutan Islam dan menyelamatkan moral generasi. Langkah ini kiranya mendesak untuk direalisasikan.
Pertama, merangkul seluruh elemen Muslim di Indonesia untuk bersatu sambil terus mengkampanyekan stop menonton televisi, minimal menguranginya.
Kedua, umat Muslim yang memiliki power –finansial, pengaruh, massa- memotori membuka donasi untuk kebutuhan mendirikan siaran televisi Islam berskala nasional sembari menyatukan media Islam yang ada.
Langkah kedua ini bisa dimulai dengan Gerakan Infaq Massal Media. Mengumpulkan uang umat dari: Infaq di masjid setiap Jumat, melalui infaq kelompok para pendakwah, para jamaah majlis Habib dan ulama, lembaga Islam, dan sebagainya. Tahan dulu membangun masjid megah yang sudah teramat banyak. Hal mendasar, harus dipilih pengelola pembuatan TV Islam (bukan TV kabel) yang amanah dan dieksekusi dengan perencanaan matang serta sistematis.
Ketiga, guru-guru di sekolah Islam terus memberi pengetahuan pada siswanya untuk menghindari televisi dan selalu mendoktrin pentingnya memilah informasi di media.
Keempat, para aktivis dakwah lebih menggencarkan aksinya melalui dakwah bil qalam: Secara sederhana, membuat tulisan-tulisan Islami yang difoto copy atau mencetak Buletin Dakwah. Lalu disebar ke masjid, rumah-rumah, kampus, sekolah; tempat strategis lain.
Ini dilakukan di banyak titik dengan membuat lembar Islami komunitas. Secara lebih rumit tapi terlihat lebih rancak; perbanyak Media Islam Komunitas dan berusaha mengelolanya seprofesional mungkin serta amanah. Mungkin kah langkah ini dilakukan? Mungkin saja.
Saya membayangkan, setiap pengusaha Muslim bersedia membuat satu media Islam. Tak perlu muluk mendirikan media besar, awali saja membuat Media Komunitas Islami. Jika ada 100 pengusaha mau mendirikan media dakwah komunitas, maka ada 100 media serupa. Indah sekali. Barangkali, kelak bisa mengalahkan media mainstream. Lalu, membom balik informasi sampah!
Ayo kita coba lakukan aksi nyata untuk kemaslahatan umat; meski dengan peran yang hanya secuil. Mari berdoa: Ya Rahman, percepatlah campur tangan Mu. Mudahkanlah yang sulit bagi kami. Hilangkan dengki di antara kami. Kokohkanlah persaudaraan ini. Curahkanlah semangat dan kekuatan kami. Tetapkanlah hati kami untuk berusaha membela dan meninggikan Islam. Cukup Engkau penolong kami dan hanya Engkaulah sebaik-baik penolong kami. Amin.

Bukan Salah FPI, Di Mana Peran Negara?

Penolakan terhadap kegiatan ormas Front Pembela Islam (FPI) belakangan terus mengalir di masyarakat. Sepanjang Februari tercatat, ada beberapa kejadian penolakan terhadap FPI. Pertama, sekelompok masyarakat Dayak, Kalimantan Tengah secara terang-terangan menolak deklarasi FPI Kalimantan Tengah. Kedua, penolakan sejumlah massa “Indonesia Damai Tanpa FPI” yang menggelar demonstrasi di Bunderan Hotel Indonesia. Mereka menyatakan, Indonesia tanpa FPI akan lebih aman. Dalam pandangan mereka FPI sudah meresahkan masyarakat. Untuk itu, sepantasnya FPI dibubarkan karena banyak melanggar hukum dan bertindak seenaknya. Terakhir, Menteri Dalam Negeri menyerukan lampu hijau pembubaran ormas anarkis dan siap mempertmbangkan menarik berkas pendaftaran FPI.
Masyarakat boleh saja menilai FPI brutal, kasar dan banyak melanggar aturan hukum. Tapi kita juga sepantasnya menyadari aksi kekerasan FPI tidak terlepas dari lemahnya peran negara. Sebab selama ini negara gagal mengambil peran menyelesaikan persoalan FPI. Ketika sekarang negara bersikeras mendorong pembubaran FPI. Penulis merasa heran dan ingin bertanya kepada penguasa dan penegak hukum negeri ini.
Pertama jika mempertanyakan aksi FPI banyak melawan aturan hukum. Logika hukum apa yang dipakai? Banyak aksi FPI selama ini adalah bentuk kekecewaan umat Islam akibat masih merebaknya peredaran miras, narkoba dan tempat hiburan malam.
Kehadiran aksi FPI banyak mengarah kepada bagaimana syariat Islam tegak. Ketika banyak pihak menuduh jalan yang dipilih FPI adalah kekerasan, tuduhan itu sebenarnya dapat terbantahkan. Sebab faktanya sebelum melaksanakan aksi, FPI sudah mengirim surat pemberitahuan dan teguran lebih dulu. Sebaliknya, penulis mempertanyakan dimana peran penegak hukum mengatasi berbagai penyakit moral tersebut?
Kedua, mengapa kasus FPI ramai diperbincangkan ketika perhatian masyarakat mengarah kepada kasus korupsi yang membelit partai penguasa. Kecurigaan ini bukan tanpa alasan, Kementerian Dalam Negeri sebagai perwakilan suara pemerintah terkesan menjadikan isu FPI sebagai alat politis untuk dua kepentingan.
Pertama mengalihkan isu korupsi Wisma Atlet yang membelit elit Demokrat seperti Nazaruddin, Anas Urbaningrum dan Angelina Sondakh. Kedua, menjadikan serangan terhadap FPI untuk menjelekkan Islam di Indonesia. Apalagi belakangan pemerintah dipandang masyarakat sudah gagal total menjalankan prinsip kerukunan antar agama di tanah air menyusul adanya bentrokan GKI Yasmin dan kerusuhan berbau Sara di Sidomulyo, Lampung Selatan.
Ketiga, adanya upaya diskriminatif pemerintah terhadap eksistensi ormas Islam khususnya FPI. Belakangan ini banyak kelompok masyarakat meminta pemerintah bertindak tegas terhadap Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Ilegal seperti Greenpeace. Mereka menilai, Greenpeace sebagai bagian konspirasi asing menghancurkan Indonesia. Apalagi diketahui, sumbangan dana Greenpeace banyak bersumber dari negara Barat seperti Belanda dan Inggris. Kemarahan masyarakat semakin bertambah dimana Belanda seenaknya membuang limbah beracun ke Indonesia.
Pembuangan limbah beracun itu sendiri tidak diprotes Greenpeace sehingga kecurigaan masyarakat semakin besar terhadap LSM asing tersebut. Merespons itu, pemerintah belum berani mengeluarkan sikap membekukan dan mengusir Greenpeace dari Indonesia. Jika FPI dinilai ormas anarkis mau dibubarkan, sebaiknya pemerintah membubarkan dan mengusir dulu Greenpeace yang jelas merusak kepentingan nasional dan merugikan negara.
Menyadarkan FPI
Selama ini FPI mengklaim sebagai gerakan yang mengusung amar maruf nahi mungkar. Sebuah gerakan yang dicita-citakan ideal dalam menegakkan syariat Islam di Indonesia. Tapi ironisnya dalam praktek lapangan eksistensi FPI sering identik dengan aksi anarkis. Tidak heran banyak kalangan menolak FPI yang dianggap model dakwahnya tidak sesuai dengan Islam di Indonesia. Apalagi FPI banyak menyerang sosok sentral dalam industri gelap (peredaran miras, narkoba, preman dan tempat hiburan malam) di Indonesia sehingga banyak dibenci kalangan pelaku maksiat.
Akibat aksi FPI yang dianggap menganggu kepentingan industri hiburan malam membuat FPI sering mengalami pembusukan citra. Tapi sesungguhnya, bukan hanya kalangan pelaku maksiat yang merasa terusik. Ada dugaan keterlibatan kelompok liberal sekuler (Jaringan Islam Liberal/JIL) yeng bergerak senyap di balik adanya aksi pembubaran FPI. Apalagi jamak diketahui, organisasi yang sering melemparkan pernyataan meresehkan ini sering merusak pemikiran muslim Indonesia. Mereka sangat berkepentingan menyerukan agenda liberalisasi barat termasuk upaya mendiskreditkan umat Islam.
Dalam merespons pembubaran FPI, tentu bukan sebuah pilihan bijak ketika terus menerus menyalahkan FPI tanpa berusaha memberikan nasehat yang baik. Rasulullah SAW mengatakan agama itu nasehat. Untuk itu alangkah lebih bijak mendahulukan upaya persuasif terhadap segala sepak terjang FPI yang dianggap melawan hukum dan mengganggu ketertiban umum. Kegiatan memberikan nasehat adalah salah satu upaya menyadarkan FPI agar mau merubah pola dakwahnya. FPI juga diminta menerima dengan lapang dada segala masukan dari berbagai pihak.
Kedua, perlu ada perlakuan adil pemerintah terhadap eksistensi ormas Islam. Jika mereka bertindak anarkis, pemakaian jalur hukum adalah penyelesaian yang bijak. Apalagi Indonesia menegaskan hukum sebagai panglima. Maka ketika FPI dianggap melanggar hukum, biarlah mekanisme hukum yang menyelesaikan. Jangan pernah diseret ke jalur politis yang berdampak pada pembusukan citra ormas Islam di tanah air.

Jamaah Ansharut Tauhid Diantara Ujian dan Harapan Umat

Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) kembali mendapat ujian dari musuh-musuh Islam yang tidak suka dengan perkembangan dakwah tauhid yang digelorakan oleh Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) pimpinan ustadz Abu Bakar Ba’asyir yang sekarang juga sedang menjalani ujian dakwah dan fitnah terhadap diri beliau oleh musuh-musuh Islam. Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) hari jum’at (25 Februari 2012 ) ditetapkan oleh pemerintah Amerika sebagai organisasi teroris dan membekukan keuangan tokoh penting ditubuh Jamaah Ansharut Tauhid.
Tiga tokoh penting dari gerakan yang didirikan oleh ustadz Abu Bakar Ba’asyir ini yakni Amir JAT Mochammad Achwan, juru bicara JAT Son Hadi bin Muhadjir dan tokoh pemimpin mereka Abdul Rosyid Ridho Baasyir. Pertanyaannya kenapa Amerika merilis ini menjelang vonis kasasi terhadap Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, apakah ini salah satu indikasi intervensi Amerika terhadap pengadilan agar menjatuhi hukuman yang berat terhadap ustadz ABB yang sampai hari ini tidak terkait apapun oleh tindakan yang dituduhkan oleh pengadilan.
Seperti keterangan putra ustadz ABB – panggilan akrab ustadz Abu Bakar Ba’asyir – kepada detik.com , Jumat (24/2/2012). "Saya pribadi melihat begini, ini ada kaitannya dengan pamanasan untuk menyambut pra-vonis Ustad Ba'asyir, hari-hari ini mungkin bulan-bulan ini akan divonis kasasinya," jelas Abdul Rochim Ba'asyir. Beliau juga menambahkan bahwa bukti-bukti tudingan keterlibatan teroris ke ayahandanya semakin terlihat tidak terbukti di pengadilan. Pihak-pihak yang menuduh Ustadz Abu Bakar Ba'asyir terlibat dalam kasus pelatihan militer di Aceh, menurut Iim, sudah kehabisan akal dan meminta bantuan AS.
"Mereka dibantu oleh AS dengan angkat isu seperti ini. Alasan-alasannya dan sebagainya permasalahan di pengadilan kemarin dinyatakan tidak terbukti, terlibat bom ini dan bom itu, mana? Kita harus jeli melihat itu. Ini tidak lepas dari upaya pemanasan vonis beliau. AS berharap para hakim bisa memvonis Ustad Abu dengan berat, tidak memvonis beliau dengan ringan," tegas Iim, demikian sapaan akrab Abdul Rochim Ba'asyir.
Menurut pengamat terorisme Al Chaidar dikutip dari okezone, Jumat (24/2/2012) malam Pernyataan pihak AS tersebut kian menunjukkan ketakutan barat terhadap organisasi Islam terutama yang berada di Indonesia.
"Jelas ini jenis ketakutan neolib AS yang berlebihan terhadap organisasi kelompok muslim seperti JAT," ujar Al Chaidar.
Ketua Forum Umat Islam (FUI) Bekasi, Ustadz Bernard Abdul Jabbar pun juga menduga ada maksud tertentu untuk memusnahkan kelompok-kelompok Islam garis keras yang bercokol di Indonesia, “Amerika punya kepentingan luar biasa dalam hal ini," kata Ustadz Bernard kepada arrahmah.com, Jakarta, Jum'at (25/2).
Jika analisa diatas benar, berarti Amerika telah menghina kedaulatan sebuah bangsa yang bermartabat dan berdaulat karena telah mencampuri urusan dalam negeri sebuah Negeri muslim terbesar di dunia ini. Harusnya pemerintah Republik Indonesia mengutuk keras Amerika Serikat yang telah memfitnah sebuah komponen masyarakat yang hidup di Negara ini agar hal serupa tidak terus terulang dan menjadikan Amerika memandang remeh bangsa Indonesia.
Harapan Ummat Untuk Jamaah Ansharut Tauhid
Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) sebagai sebuah gerakan yang hadir menjawab kebuntuan dan stagnanisasi yang melanda umat Islam sangat dibutuhkan kontribusinya untuk menjawab tantangan –tantangan yang makin kompleks di segala lini. Karena Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) dipandang mampu mengemban amanah-amanah keumatan berbasis tauhid yang lurus dan murni dapat menyuarakan ketidak adilan, kezhaliman dan penindasan dari musuh-musuh Islam yang sangat menginginkan Islam hancur hanya tinggal nama.
Kepada Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) umat juga berharap upaya penegakkan Syari’at Islam, edukasi tauhid dan pembelaan terhadap umat Islam bisa menembus semua kalangan, mengerakkan umat untuk bangkit dari keterpurukkannya dan membawa kembali cahaya Islam berkuasa dan menjadi rahmat untuk alam semesta.
Mungkin harapan- harapan ini terlalu berat dan membutuhkan waktu yang tidak sebentar namun dengan sumber daya manusia, profesionalisme dalam berjamaah dan tentu saja pertolongan dari Allah harapan-harapan ini bisa terwujud melalui Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), insya Allah.
Dan dengan adanya ujian-ujian yang menimpa Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) semakin solid, terus berbenah dan menjadikan pengalaman-pengalaman masa lalu untuk tetap bertahan dan semakin memantabkan diri untuk istiqomah berjalan diatas manhaj yang menjadi rujukan selama ini.
Dan ujian-ujian yang menimpa Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) adalah juga harus menjadi lecut para anggotanya bahwa sebuah gerakan yang benar-benar ikhlas dan tulus mengharap ridho Allah SWT pasti mendapat fitnah,ujian dan makar dari musuh-musuh Islam.

Tentang Gerakan #IndonesiaTanpaJIL

“Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya.” (Q.S. Ash-Shaff 8).
Gerakan hashtag dibalas dengan gerakan hashtag, nampaknya itulah yang tengah terjadi di jagat dunia maya. Adalah gerakan #IndonesiaTanpaJIL yang dalam dua hari terakhir ini menjadi fenomena di dalam dunia yang tidak sebenarnya itu. Facebook dan Twitter menjadi media masifnya gerakan ini.
Dan apa yang terjadi sungguh mencengangkan, dalam dua hari antusiasme pendukung gerakan ini bertambah secara signifikan. Dalam dua hari ini di Facebook, penyuka fanpage gerakan #IndonesiaTanpaJIL sudah menyentuh angka 7000. Begitu pula di jejaring sosial Twitter, sambut menyambut “kicauan” tentang #IndonesiaTanpaJIL pun terjadi dengan ramainya. Hingga tercipta beberapa akun resmi @TanpaJIL sebagai pengakomodasi gerakan ini.
Jika selanjutnya ditanya tentang siapakah yang menjadi inisiator gerakan ini, maka sesungguhnya tidaklah mudah untuk disimpulkan siapa yang melempar bola panas ini. Spekulasi yang ada, gerakan #IndonesiaTanpaJIL adalah bentuk balasan dari gerakan #IndonesiaTanpaFPI yang sebelumnya dilontarkan ke jagat dunia maya sebagai bentuk ketidak-sukaan akan kekerasan yang acapkali dilakukan oleh ormas yang bernama FPI (Front Pembela Islam).
Saat gencar-gencarnya gerakan #IndonesiaTanpaFPI memang tidak bisa lepas dari tangan-tangan aktivis Islam Liberal yang terlembagakan dalam JIL (Jaringan Islam Liberal). Dari sanalah, kemudian keadaan berbalik dan menjadikan JIL sebagai sasaran.
Penunjukkan JIL sebagai sasaran counter attack sekiranya tidak dapat dipungkiri, mengingat berbagai tanggapan dan pendapat kontroversial seperti dukungan terhadap pornografi dan pornoaksi atas argumentasi kebebasan berekspresi, dukungan terhadap pernikahan beda agama, meragukan kandungan kitab suci al-Qur’an, dan meragukan kerasulan Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam. dilontarkan oleh para penggiatnya seperti Ulil Abshar Abdalla, Musdah Mulia, M Luthfie Assyaukanie, dan Nong D Mahmada yang membuat resah ummat Islam pada umumnya. Dan nampaknya gerakan #IndonesiaTanpaJIL pun dapat dikatakan sebagai kulminasi kekesalan ummat Islam dengan aktivitas meresahkan Jaringan Islam Liberal.
Mengatasnamakan Islam sebagai argumentasi gerak Jaringan Islam Liberal seakan melecehkan ummat Islam. Bagaimana tidak, tindak-tanduknya di negara ini acapkali meresahkan dan menggoyahkan aqidah ummat Islam. Dengan berdasar pada rasio, para penggiat Islam Liberal sampai-sampai meragukan ayat-ayat Allah dan kemudian memberikan tafsiran bebas seenakya saja. Mengutak-atik ayat untuk melegalkan kenikmatan dan membenarkan nafsu.
Inilah sesungguhnya fenomena akhir zaman, ketika manusia sudah tidak lagi percaya dengan kebenaran, dan selanjutnya berbuat kerusakan di muka bumi. Begitu besar pengaruh dan kontribusi yang dihembuskan oleh para pemikir Barat dalam tumbuh kembangnya virus Islam Liberal di Indonesia, menjadikan virus ini mendapat perhatian khusus dari Negara Barat itu sendiri. Itulah mengapa, JIL sebagai manifestasi dari gerakan perusakan aqidah ummat Islam, memiliki bargaining position yang begitu kuat di Indonesia yang notabene masih menganut dan berkiblat pada Barat.
Kemudian, gerakan ini pun semakin menemukan momentum tatkala seorang public figure menyatakan sikap anti JIL dalam video berdurasi tidak lebih dari 40 detik yang sudah tersebar di dunia maya. Adalah Fauzi Baadilla (@fauzibaadilla), seorang public figure yang terkenal gaul dan urakan berani dan tegas berpendapat bahwa Indonesia lebih baik tanpa JIL.
Aksi yang terbilang berani ini seakan meruntuhkan stereotip yang ada pada pemuda Indonesia yang di tampilkan begitu bebas tanpa norma, menjadi pemuda yang teguh secara prinsip dan memiliki komitmen keyakinan yang kuat walau secara tampilan fisik terlihat urakan. Fauzi Baadilla dalam akun pribadi twitternya sempat menyatakan bangga bisa menyatakan hal tersebut. Sempat pula Fauzi mengcounter secara pribadi salah satu penggiat Islam Liberal. Dan sudah saatnya pemuda Indonesia berprinsip dan bersikap.
Selanjutnya perlu dicermati bahwa sesungguhnya jauh sebelum gerakan ini terlihat berkembang dengan masifnya, seorang pengamat dunia Islam yang juga seorang penulis, Akmal Sjafril (@malakmalakmal), merilis satu buah buku yang bertajuk Islam Liberal 101. Dalam Islam Liberal 101 yang ditulis olehnya, dikupas berbagai fenomena pertumbuhan pemikiran dan gagasan Islam Liberal di Indonesia. Tidak ketinggalan ulasan tentang retorika-retorika yang digunakan penggiat Islam Liberal dalam mengkampanyekan idenya. Dan dengan dirilisnya buku ini, semakin kuat dasar gerakan #IndonesiaTanpaJIL yang saat ini tengah merebak.
Seakan gayung bersambut, gerakan #IndonesiaTanpaJIL semakin membesar. Selain tokoh yang tersebutkan di awal, beberapa tokoh juga berkontribusi meramaiakan gerakan #IndonesiaTanpaJIL. Tercatat seorang aktivis gerakan (HTI) Hizbut Tahrir Indonesia yang berkontribui menelaah dan memeberikan pandangan serta pengetahuan yang mendalam tentang Liberalisme secara umum yang kemudian dikaitkan dengan keberadaan JIL di Indonesia, beliau adalah Felix Siauw (@felixsiauw). Beliau juga dikenal sebagai penulis buku Beyond The Inspiration dan Muhammad Al-Fatih 1453. Dan “kicauan” sang pemerhati sejarah Islam ini di Twitter telah banyak menjadi rujukan dalam meyakinkan penikmat Twitter untuk ikut serta dalam gerakan. “Kicauan”nya sudah di retweet lebih dari seratus kali.
Lebih jauh, seorang rapper Islam yang dikenal konsisten dalam menyuarakan syiar Islam dan penolakan terhadap kebathilan dalam syair rap nya. Adalah Thufail Al-Ghifari (@MindResistance) yang juga berkontribusi dalam gerakan #IndonesiaTanpaJIL. Dan sempat dalam akun pribadinya menghimbau kepada seluruh aktivis LDK (Lembaga Dakwah Kampus) agar menjadikan LDK sebagai tameng dan garda terdepan penangkal gerakan Islam Liberal di kampus. Dan ini menjadi perhatian yang amat penting sesungguhnya, karena dunia kampus adalah dunia yang begitu terbuka, paham apapun dengan bebasnya dapat masuk mewarnai mahasiswa-mahasiswa yang ada di kampus tersebut.
Walau tidak dapat dikatakan bahwa apa yang terjadi di dunia maya adalah representasi dari suara rakyat Indonesia yang sebenarnya, akan tetapi setidaknya benih-benih kesadaran bahwa organisasi penyebar keresahan Ummat seperti JIL mulai muncul di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang sudah semakin melek jejaring sosial. Bermula dari dunia maya, bukan tidak mungkin, ketika pada suatu saat gerakan ini akan menjadi aksi nyata pembubaran organisasi yang bernama JIL. Dan itu adalah sebaik-baiknya perlawanan.
Dan terakhir, kita diingatkan oleh Allah jangan sekali-kali melakukan makar terhadap agama Allah, karena Allah sebaik-baik pemberi makar, seperti dalam surat Ali-Imraan ayat 54 yang berbunyi : (Apabila) mereka membuat makar (tipu daya), Allah membalas makar (tipu daya) mereka. Dan Allah sebaik-baik pembalas makar (tipu daya).
Mari kawan, bergabunglah dalam kafilah pengeja kebenaran. Bersatu lawan virus-virus SEPILIS yang kian menggerogoti. Serta sejenak untuk hilangkan prasangka sesama muslim untuk bersatu melawan musuh-musuh Islam yang hakiki. Mari buat Indonesia tersenyum tanpa Jaringan Islam Liberal. Dan semoga Allah meridhoi langkah kita.

John Key dan Pandemi Premanisme di Indonesia

Akhirnya John Key sang Gengster harus menerima pil pahit ketika kaki kanannya disasar peluru dari moncong senapan seorang aparat kepolisian. Polisi menangkap John Key karena terkait kasus pembunuhan bos PT Sanex Steel Indonesia, Tan Harry Tantono di sebuah sofa kamar Hotel Swiss-belhotel, Sawah Besar, Jakarta Pusat, pada Kamis 26 Januari 2012 malam. (vivanews 18/02). Selain terjerat kasus pembunuhan, salah satu penguasa bawah tanah di Jakarata ini juga terjerat kasus narkoba.
Kajadian ini kembali membuka mata publik akan pandemi premanisme di Indonesia. Premanisme memang acapkali menimbulkan keresahan ditengah-tengah masyarakat. Suatu hal yang sejatinya tidak hanya terjadi di kota besar seperti di Jakarta, melainkan marak pula di pelosok-pelosok desa. Namun bedanya kalau di Jakarta kasus premanisme telah memiliki nilai historis yang begitu panjang dan tampak lebih dahsyat.
Perhatian utama dari sejarah sosial ini ialah bagaimana masyarakat mempertahankan dirinya, mengatur hubungan sesamanya (seperti status dan wibawa) dan bagaimana pula memecahkan masalah dalam berhadapan dengan lingkungannya (alamiah atau sosial) dan dengan tetangga.(Agus Mulyana, Suatu Tinjauan Historiografi).
Menurut E.J Habsbown, kelahiran kelompok bandit (preman. pen) ini, khususnya di Jakarta tidak lepas dari proses sejarah kota Jakarta itu sendiri sebagai kotanya kaum pendatang. (Gejolak Revolusi di Jakarta 1945-1949 Pergulatan Antara Otonomi dan Hegemon, penerbit Grafiti).
Peta Premanisme sendiri sebagaimana di tulis Jerome Tedie (2009), dibagi menjadi sekitar 15 etnik kesukuan, diantaranya ialah Batak, Palembang, Padang, Banten, Demak, Jepara, Surabaya, Madura, Makasar, Maluku, dan Papua. Pun memiliki spesialisasi masing-masing yakni ada yang spesialis pencuri atau pencopet, menodong dan menjambret, menipu, dan tukang pukul. (Wilayah kekerasan di Jakarta, Jerome Tedie)
Secara definitif, preman memiliki beberapa arti, dalam kamus Wikipedia, kata preman berasal dari bahasa Belanda vrijman = orang bebas, merdeka dan isme = aliran. sebutan pejoratif yang sering digunakan untuk merujuk kepada kegiatan sekelompok orang yang mendapatkan penghasilannya terutama dari pemerasan kelompok masyarakat lain. Di dalam kamus Bahasa Indonesia, preman salah satunya diartikan sebagai orang jahat (yang suka memeras dan melakukan kejahatan).
Terminologi Premanisme sendiri pada dewasa ini semakin komplek, seperti halnya premanisme hukum yakni orang yang memperalat atau mempermainkan hukum, premanisme politik yakni pihak yang memperalat atau melakukan kejahatan politik untuk kepentingan dirinya atau golongannya, dll.
Olehnya dapat disimpulkan bahwa preman telah memiliki definisi yang khas sebagaimana pemaparan di atas. Pelaku kekerasan tidak semuanya bisa disebut preman, sehingga jelas tidak tepat semisal teman-teman di FPI ada yang memberi label sebagai preman berkalung surban.
Penyebab
Setidaknya ada beberapa penyebab kenapa premanisme begitu marak, diantaranya ialah: Pertama: Minim Iman. Ketika manusia Imannya lemah, maka sudah otomatis membuatnya merasa bebas tanpa aturan, sehingga sangat tipis sekali benteng pelindung dalam dirinya untuk tidak berbuat kejahatan.
Kedua: Faktor Ekonomi. Tersirat bahwasanya faktor ini menjadi salah satu pemicu utama kenapa orang memilih menjadi preman. Sulitnya mencari lapangan perkerjaan karena gagalnya pemerintah menciptakan lapangan pekerjaan yang merata seringkali menjadi dalih kenapa dirinya harus menjadi preman. Begitulah, jalan pintas luar track akhirnya menjadi pilihan mereka.
Ketiga: Ketidaksigapan penguasa. Sebagaimana menurut Kartodirdjo (1984), Bandit sosial (preman. pen) adalah sebagai suatu struktur tipe kepemimpinan sosial yang secara wajar muncul dalam celah-celah ruang sosial dimana penguasa tidak dapat melakukan pengawasan.
Padahal Rasul Saw telah bersabda: “Seorang imam adalah penggembala dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas gembalaannya” (HR. Bukhari dan Muslim)
Keempat: Lemahnya sistem negara. Sistem sekulerisme-demokrasi yang diterapkan di negri ini benar-benar telah menumbuh suburkan premanisme. Tercermin dari data naiknya angka kriminalitas dan menjamurnya kelompok-kelompok preman yang ada, baik kelompok yang terdata atau tidak, di desa maupun di kota.
Di Jakarta, data per September 2011 menunjukkan tindak pencurian dengan pemberatan terjadi sebanyak 5.211 kali. Berarti 19 kasus terjadi dalam sehari, lebih banyak ketimbang 2010 yang dalam sehari bisa terjadi 16-17 kasus (kabarjakarta.com, 02/11/11). Sementara di Jateng, sebagaimana dikutip tvku.tv, Kapolda Jawa Tengah mengungkapkan terjadi 19 Ribu 662 Kasus Kejahatan di tahun 2011. Angka tersebut naik sebesar 15 persen dari Tahun 2010. Sistem ini tidak mampu memberikan efek jera bagi pelaku kriminal.
Butuh Syariah
Karena itu, problem premanisme harus mendapat perhatian serius dari seluruh stakeholder. Preman juga manusia yang tentu menjadi bagian obyek dakwah. Di era sekarang ini, dakwah dapat ditempuh dengan menggunakan banyak cara dan wasilah. Dakwah dapat dilakukan oleh Individu, kelompok, maupun Negara.
Sekeras apapun mereka, bukan mustahil hatinya niscaya dapat tersentuh apabila disentuh dengan akidah Islam, dengan ijin Allah. Sebagai misal di zaman Nabi, adalah mantan preman Arab sekaliber Umar Bin Al-Khatab pun akhirnya menjadi pribadi mulia ketika menerima bimbingan Islam. Pun demikian di zaman sekarang ini, seperti halnya Anton Medan, saat mengisi sebuah acara bertajuk “neo democrazi” di metrotv, Kamis malam (24/02), mantan preman ini mengungkapkan akhirnya ia memilih jalan hidup baru setelah mendapat teguran dari istrinya supaya bertobat saat di Nusa Kambangan. Pula beberapa teman dari penulis yang Alhamdulillah telah meninggalkan dunia hitam tersebut.
Namun, sejatinya negaralah yang memiliki peran sentral dalam menanggulangi premanisme. Sistem sekulerisme-demokrasi seharusnya sudah tidak dijadikan lagi sebagai pedoman. Premanisme merupakan problem sistemik, maka perlu solusi sistemik yakni bagaimana Negara harus menciptakan situasi politik, ekonomi, sosial, budaya dan keamanan yang kondusif, yang tidak memicu lahirnya premanisme.
Diantaranya ialah menciptakan lapangan pekerjaan yang merata, membangun sistem pendidikan yang berbasis keimanan, menerapkan sistem peradilan peradilan yang eleghant agar dapat menekan angka kejahatan dan premanisme, menindak tegas oknum aparat negara yang menjadi backing para preman, dst. Semua itu dapat terlaksana dengan baik jika negara mau untuk untuk menerapkan syariah Islam secara kaffah dalam bingkai khilafah. Wallahu a’lam.

Idola Turunan vs Idola Utama

Demam K-Pop mewabah di seantero dunia, termasuk Indonesia. Jutaan remaja putri, bahkan putra, menggilainya dan menghabiskan sebagian besar waktu serta ruang pikirnya untuk mengikuti perkembangan terbaru dari arus kebudayaan pop korea tersebut. Mulai dari menonton drama di TV dan DVD, mendownload lagu boyband dan girlband di internet, mengikuti gaya berpakaiannya, hingga (yang sedikit lebih intelek) membaca buku tentang artis idola mereka. Dari keseluruhan arus itu, para remaja (khususnya remaja putri) biasanya memilih satu atau lebih artis yang mereka paling ikuti perkembangannya. Kita biasanya menyebutnya sebagai idola.
Jauh sebelum itu, para remaja putra sudah terlebih dahulu menjadikan atlet sebagai idola, khususnya atlet sepakbola. Mereka adalah sosok yang biasanya mengisi tembok kamar, tontonan malam yang membuat begadang, bahan utama dalam obrolan, situs pertama yang dibuka saat online, hingga minat utama yang mengisi lebih dari separuh ruang pikir. Ya! Bagi para remaja itu mereka adalah idola. Meskipun ketika ditanya apa saja yang dapat mereka ambil dari idola mereka tersebut? Mungkin tak banyak jawaban yang akan hadir. Bahkan mungkin, jawabannya begitu simpel: hanya sekadar suka saja. Tak lebih.
Industri Para Idola
Arus modernitas yang berasal dari barat itu membawa banyak hal. Salah satunya adalah industrialisasi. Sebuh proses produksi dengan prinsip efisiensi yang ditopang oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini membuat jumlah produksi semakin banyak dengan jangka waktu yang semakin cepat. Industrialisasi ini menyebar ke berbagai sektor kehidupan, termasuk di sektor-sektor yang banyak memproduksi para idola, seperti seni dan olahraga. Istilah memproduksi saya gunakan karena para idola itu sebenarnya tidak bisa menjadi idola tanpa adanya dukungan lingkungan terhadapnya. Dahulu kala, bentuk dukungan itu disampaikan secara konvensional lewat lisan dan tulisan. Namun kini, dengan bantuan media massa yang audio-visual, ruang untuk menjadi idola itu pun semakin terbuka terbuka. Siapa saja bisa menjadi idola, tentunya dengan kriteria yang ditetapkan oleh produsen para idola. Produsen itu tentu saja para pemilik modal. Mereka yang sebenarnya menjadikan para idola ini sebagai salah satu komoditas bisnis mereka dan agen promosi kriteria modern seorang idola.
Artinya, selain mendapat keuntungan, mereka pun, secara langsung maupun tidak, mempromosikan kepada masyarakat umum yang di Indonesia mayoritasnya muslim bahwa begini loh sebenarnya yang disebut idola. Mereka harus berpenampilan menarik (baca: memamerkan aurat), pandai berbicara di depan umum (walau seringkali pembicaraannya tak bermutu), jago bermain sepakbola (walau berzina adalah kesehariannya). Masyarakat kita dipaksa untuk mengidolai sosok yang sebenarnya hanya sedikit dari karakter dirinya yang pantas untuk ditiru.
Benarkah Kita Mengidolakan Rasulullah saw?
Meskipun industri para idola terus melaju, tak sedikit pihak yang melakukan perlawanan atas arus tersebut. Artinya, tidak semua orang mau begitu saja menerima apa yang disuguhkan oleh media massa dan perangkat-perangkat pendukung industri idola lainnya. Salah satu pihak yang melakukan perlawanan tersebut adalah kalangan santri, khususnya di perkotaan yang merasakan arus ini lebih deras dibanding di pedesaan. Masalahnya, santri perkotaan ini biasanya adalah remaja-remaja yang baru saja tercelup oleh nilai-nilai Islam. Mereka hanya mendapatkan pemahaman Islam lewat halaqoh pekanan, kajian-kajian keilmuan, maupun bacaan dari buku maupun internet. Yang baru tumbuh dengan baik adalah komitmen mereka untuk terus mempelajari Islam sambil mempraktekkan dan mendakwahkannya secara bertahap.
Masalah ini berdampak pada keber-Islam-an mereka yang biasanya masih bersifat simbolik. Salah satu bentuknya adalah ketika mereka ditanyakan siapa idola mereka, misalnya dalam acara perkenalan maupun dalam biodata mereka. Biasanya mereka akan mengatakan maupun menuliskan: Rasulullah saw, nabi terakhir yang diutus oleh Allah untuk menyempurnakan Syariat-Nya di dunia dan memang diakui sebagai manusia terbaik, bahkan oleh kalangan non-muslim seperti Michael Hart. Akan tetapi, ketika coba ditanya. Sudahkah membaca sirah nabawiyah? Seberapa seringkah membaca dan mengkaji hadis beliau? Berapakah sunnah beliau yang sudah dipraktekkan? Sebelum mendengar jawabannya, bersiaplah untuk kecewa.
Bahkan mungkin saja, mereka yang mengaku anak rohis atau aktivis dakwah itu pun juga mengidolakan artis korea atau atlet sepakbola. Meski mereka tidak mengakuinya, tetapi jika ternyata ruang pikir mereka lebih banyak untuk itu, apa mau dikata, fakta yang berbicara. Agak miris ketika ada yang mengaku mengidolakan Rasulullah saw, tetapi lebih mudah terbangun di malam hari karena pertandingan Barcelona vs Real Madrid, daripada karena ingin sholat malam.
Jebakan Penghambaan Idola
Salah satu jebakan yang harus diwaspadai dalam relasi antara idola dan penggemar adalah jebakan penghambaan. Istilah penghambaan mungkin terdengar agak berlebihan bagi sebagian orang, tetapi jika para penggemar telah sampai pada tahap mau melakukan apa saja demi idola mereka hingga melewati logika rasional dan koridor Syariat Islam, di sanalah letak jebakan penghambaan itu. Prinsip asasi pertama dalam ajaran Islam adalah agar setiap manusia hanya menghambakan dirinya pada Allah SWT saja.
Lalu bagaimana agar kita terhindar dari jebakan penghambaan kepada selain Allah SWT? Itulah mengapa ada prinsip asasi kedua, yakni agar setiap manusia mengikuti tata cara penghambaan kepada Allah SWT dari Rasulullah saw. Manusia terbaik yang ma’sum atau dijamin pasti benar semua perkataan dan perbuatannya. Hal ini membuat beliau adalah satu-satunya manusia yang paling aman untuk dijadikan idola. Karena tidak ada satu pun bagian dari karakter dirinya yang mengandung jebakan untuk pengambaan lain selain Allah SWT. Semuanya baik, semuanya benar. Adakah yang lebih aman dan lebih pantas untuk diidolakan selain beliau.
Namun, yang perlu digarisbawahi, kedua prinsip asasi tersebut fungsinya adalah sebagai landasan dan koridor. Jadi, kedua prinsip asasi ini sebenarnya tidak melarang kita untuk mengidolakan sosok lain. Asal kriteria idola kita tersebut adalah sosok yang cukup aman dan patut ditiru, serta tidak keluar dari koridor syariat. Tentu saja, hal ini membawa konsekuensi bahwa pengidolaan kita terhadap sosok lain haruslah merupakan turunan atas pengidolaan kita terhadap Rasulullah saw.
Maka pertanyaan reflektifnya begini: Siapa yang seharusnya lebih banyak mengisi ruang pikir kita? Menjadi acuan bertindak kita? Menjadi minat utama dan obrolan keseharian kita? Idola Turunan atau Idola Utama?
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS Al Ahzab:21)
Wallauhu A’lam bis Showab